Proporsal Bazar Buku SMAN 36 Jakarta

on Selasa, 18 November 2014
36’s BOOK FAIR 2014 JCC (Senayan)

I. Latar Belakang

Perubahan dunia yang tak bisa kita tebak lagi menyebabkan segala bidang kehidupan mengalami Perubahan yang pesat, salah satunya adalah dibidang ilmu pengetahuan. Dalam bidang ilmu pengetahuan, sangat terlihat jelas bahwa kini segala bentuk penelitian, maupun ilmu ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat tertulis dalam suatu media cetak berupa buku. Hal ini bisa kita lihat pada Negara-negara maju, disana tidak ada orang yang lepas dari bahan bacaan. Bahkan ketika dalam perjalananpun mereka sambil membaca. Kita sering mendengar ungkapan “buku adalah jendela dunia”. Hal ini seharusnya menjadi penyemangat bagi para penuntut ilmu untuk membaca buku-buku
Buku merupakan sumber ilmu pengetahuan yang menjadi kebutuhan pokok setiap insan yang menuntut ilmu. Tetapi, kenyataannya kurangnya akses terhadap buku dan berbagai bentuk karya tulis lainnya yang telah menyebabkan berkurangnya minat baca pada siswa sekola. Selain itu melihat adanya momen penting yaitu kegiatan sosial SMAN 36 Jakarta
Maka kami dari Siswa-Siswi SMAN 36 Jakarta berkeinginan untuk mengadakan kegiatan bazar buku murah, sebagai langkah awal menggerakkan siswa SMA seJakarta-Timur agar menyukai aktifitas membaca buku.
Akhirnya kami berharap keinginan kami ini akan mendapatkan dukungan dan respon positif dari semua pihak, dan, mendapat ridho Allah SWT. Amin.

II. Tujuan Kegiatan

1. Memberikan sumber wawasasn kepada para siswa  
2. Mensosialisasikan kepada siswa untuk gemar membaca
3. Menjadikan budaya membaca buku sebagai kebutuhan pokok
4. Menumbuhkan kesadaran siswa pentingnya membaca buku ]
5. Meningkatkan tali silatuhrami antar siswa SMA

III. Nama dan Tema Kegiatan

1. Nama Kegiatan
        Kegiatan ini bernama “36’s Book Fair 2014”

2. Tema Kegiatan
        Tema kegiatan ini adalah “Bazar Buku

IV. Jadwal Kegiatan

       Kegiatan ini akan dilaksanakan pada :
       Hari/Tanggal   : Sabtu, 15 November 2014
       Waktu            : Pukul 09.00-15.00 WIB
       Tempat           : JCC, Senayan.

V. PESERTA
1. SMAN 36
2. SMAN 12
3. SMAN 42
4. SMAN 31
5. SMAN 53
6. SMAN 54
7. SMAN 103
8. SMAN 100
9. SMAN 21
10. SMAN 77
11. SMAN 81
12. SMAN 61
13. SMAN 105
14. SMAN 39
15. SMAN 27
16. SMAN 67
17. SMAN 30
18. SMAN 50
19. SMAN 44
20. SMAN 22
21. SMAN 51
22. SMKN 26
23. SMKN 10
24. SMKN 7
25. SMA Pusaka
26. SMA Labschool
27. SMA Diponegoro 1
28. SMA Al-Azhar 12
29. SMA Angkasa
30. SMA Dinamika Pembangunan


VI. PENDAFTARAN PESERTA
Untuk pendaftaran tiap sekolah dikenakan biaya sebesar Rp 1.500.000,-

VII. SUSUNAN KEPANITIAAN
Ketua Pelaksana : Dhika Bimaseta
Wakil Ketua Pelaksana : Dwia Ananda
Sekretaris : Windy Inta Seldianda
Bendahara : Winda Wati
Seksi Humas : Sahira Mahrus
Seksi Acara : Rein Aldhisa
Seksi Konsumsi : M. Bani Setyawan
Seksi Perlengkapan : M. Etvan Risqi
Penanggung Jawab : Nurjanah Eka

VIII. Anggaran
Sewa gedung                                                                 Rp 25.000.000
Dekorasi                                                                        Rp 10.000.000
Pulpen                         @Rp 3.000 x 8                          Rp    40.000
Spidol                          @Rp 7.000 x 8                           Rp    56.000
Tissue                          @Rp 5.000 x 4                           Rp    20.000
Jilid Proposal              @Rp 5.000 x 2                           Rp    10.000
Foto copy proposal     @Rp 1.000 x 14                         Rp    14.000
Nota                        @Rp 8.000 x 5                           Rp    40.000
Pin panitia                  @Rp 6.000 x 8                          Rp    48.000
Spanduk 6 meter         @Rp 25.000 x 6meter              Rp   150.000
Snack untuk panitia      @Rp 15.000 x 8                         Rp   120.000
Total biaya yang dikeluarkan                                       Rp 35.498.000

Sisa biaya                                                                     Rp  9.502.000

IX. Penutup

Demikian proposal ini kami sampaikan sebagai acuan kegiatan bazar buku. Ini. Atas bantuan, kerjasama dan perhatian berbagai pihak kami ucapkan terima kasih..


Jakarta, November 2014

      Ketua panitia,                                                                                              Sekretaris,


      Dhika Bimaseta                                                                                 Windy Inta Seldianda


                                Mengetahui,
                                Kepala Sekolah SMAN 36 Jakarta



                                 Dra. Hj. Adwiana Hardiyanti M.Pd

Analisis Cerpen Indonesia Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik

on Selasa, 30 September 2014
AKHIRNYA AKU BISA MERASAKAN

         Adit, itulah nama panggilanku. Aku memiliki saudara kembar yaitu adib. Dia sangat cerdas dan tanggap dalam menyelesaikan masalah. Sedangkan aku, aku adalah kebalikan dari adib. Sering kali aku dibanding-bandingkan dengan kelebihan adib.
             Segalanya serba adib, aku sendiri serasa tidak ada keunggulan sedikitpun selain menyusahkan orang di sekitarku. Adib selalu berucap demi memberikan semangat bagi kehidupanku, “Kak, lakukanlah semua itu dengan tanpa memandang orang lain bicara apa, asalkan yang kau lakukan benar”. Tidak ada sifat kesombongan dan kecongkaan yang tertanam dalam jiwa adib, adikku.
        Mama yang telah melahirkanku pun lebih mencintai adib, ayah yang selalu memberi nafkah pada keluarga kami pun memberi oleh-oleh yang lebih istimewa kepada adib. Ini merupakan deskriminasi yang berlebihan menurutku. Ya sudahlah, biar tak kepanjangan pikirku, aku positif saja dengan kehidupanku.
Tetangga yang biasanya tenteram dengan urusan mereka, kala ini merasa terundang untuk selalu membicarakan dan membandingkan aku dengan adib. Setiap aku lewat, pastilah lirikan yang tidak menyenagkan didapati olehku. Akan tetapi seketika adib lewat, sapaan demi sapaan selalu tercurahkan. Aku hanya bisa mengelus dada saja melihat fenomena ini.
            Suatu ketika, kejadian yang tidak diinginkan ditimpa oleh adib. Cairan bahan kimia mengenai kedua matanya ketika praktik di sekolah. Akhirnya adib dilarikan ke rumah sakit terdekat, guru-guru yang bersangkutan serta aku pun ikut ke rumah sakit tersebut.
           Setiba di rumah, ternyata telah ada guru perwakilan dari sekolah yang melaporkan kejadian tersebut pada orang tua kami. Belum sempat mencium tangan kedua orang tuaku, mereka berdua langsung menuju ke rumah sakit tersebut. Sedangkan aku menjaga rumah demi keselamatan bersama.
        Akan tetapi, seketika aku menyapu halamna rumah malah gunjingan dari tetangga yang ku dapat. Mereka bilang “sudah adik sendiri terkena musibah, malah tidak kasihan dan tidak dijaga”. Aku lagi-lagi hanya bisa mengelus dada mendengar celotehan para tetangga.
Aku sangat sayang pada orang tua dan adikku. Tugasku untuk menjaga adik telah aku selesaikan walau hanya sebentar, sedangkan tugas rumah yang selalu dibebankan padaku belum aku laksanakan, oleh karenanya aku pulang demi melaksanakan kewajibanku.
          Setelah mengerjakan urusan rumah, aku pun langsung mengunci seluruh isi rumah dan pergi ke rumah sakit untuk menjenguk serta menjaga adib. Tapi seketika aku sampai di rumah sakit tepatnya di depan pintu kamar adib dirawat, aku mendengar diskusi antara dokter dengan kedua orang tuaku.
Aku tak mengira hal ini akan terjadi, keputusan yang membuat aku berat hati ini menjadikan aku lebih tegang dan bahkan mengharukan dalam hidupku. Dokter memutuskan bahwa mata adib tidak bisa diselamatkan kembali, tapi dapat diganti dengan bola mata lain baru dia bisa pulih seperti sedia kala, itu pun jika operasi berhasil.
           Orang tuaku siap mengganti berapa pun biaya demi keselamatan adib, bahkan dengan mengganti bola mata yang baru. Aku mengira bahwa orang tuaku akan menulis iklan dalam media masa bahwa mereka butuh donor mata dengan nilai rupiah yang cukup tinggi. Ternyata hal itu hanya mimpi belaka, keputusan orang tua yang dicurahkan terhadap dokter adalah mengambil bola mataku untuk adib, sang juara keluarga.
Mengapa nasibku sungguh malang. Aku mempunyai mimpi yang besar, akan tetapi hal ini apakah tidak menghalangi mimpiku? Mata adalah salah satu organ yang sangat penting adanya dan kegunaannya. Aku hanya bisa menangis sejenak melihat hal yang tak terduga ini. Lagi-lagi aku hanya bisa bergumam dan meronta dalam hati serta mengelus dada.
        Tanpa basa-basi, aku kembali ke rumah dan merenung di kamar. Tuhan sangat sayang padaku, dan aku pun yakin atas hal tersebut. Aku berpikir, jika aku tak punya mata lagi apakah aku bisa menangis? Biarlah, aku habiskan air mataku untuk adib, kebanggaan semua orang. Mungkin dengan cara ini aku bisa mendapat pujian dari semua orang yang kagum atas adib.
        Keesokan harinya pun operasi akan dilaksanakan, tanpa basa-basi malam sebelum operasi dilakukan aku telah siap dan berbicara pada orang tuaku sebelum mereka bicara padaku. Aku bisa merasakan ada air mata dari ayahku, tapi aku tidak bisa merasakan air mata yang ada dalam mata mamaku, padahal yang akan aku sumbangkan untuk adib adalah salah satu organ tubuh yang sangat ku sayangi.
       Hari yang ditunggu-tunggu pun datang. Ibu sangat senang dengan datangnya hari ini, sedangkan aku sempat melihat di belakang sana ada ayahku yang dari sorotan matanya ingin mengucapkan sesuatu padaku. Namun apa boleh buat, kini waktuku untuk memberikan barang berhargaku untuk adikku.
Tinggal beberapa menit lagi operasi akan dimulai, aku memanfaatkannya dengan memanggil ayah dan ibuku. Aku hanya ingin memandang mereka dengan peka, karena mungkin ini akhir aku melihat mereka yang telah berjasa dalam hidupku.
       Aku sadar, aku tak berarti apa-apa dalam keluarga ini. Tetapi setidaknya aku telah berbuat baik kepada kedua orang tua dan selalu berpikiran positif dalam perjalanan hidupku serta meyakini ada rahasia tuhan yang tersembunyi di balik peristiwa ini semua.
         Tepat pukul 10.00 operasi dimulai, aku siap menghadapi alat-alat tajam yang akan mengambil mataku. Aku tak sadarkan diri pada waktu itu, akan tetapi kala ini aku sadar namun terasa ada yang hilang. Ya, kemewahan dan keindahan alam telah hilang menurutku. Semua di dunia ini telah musnah pikirku. Tetapi aku salah, yang telah hilang dari keindahan bukanlah dunia dan seisinya, melainkan kedua mataku telah hinggap pada tempat bola mata adib berada dulu.
        Kini mimpi-mimpiku terasa telah terhapus, aku tak bisa melakukan aktivitas seperti biasanya. Yang aku bisa kerjakan aku kerjakan, namun yang tak bisa ya aku tinggalkan. Dengan kecacatan yang aku derita ini, aku memutuskan untuk tinggal di kejauhan sana agar tidak membuat malu keluarga. Ayahku tidak setuju dengan pikiranku, namun yang membuat aku tambah mengelus dada adalah kerelaan ibu yang begitu memancarkan ketidaksayangannya dalam menyetujui keputusanku.
        Ini adalah jalanku, sebelum aku pergi jauh dan tinggal bersama orang-orang yang asing pintaku hanya satu. Aku hanya ingin berbincang-bincang dengan keluarga sampai larut malam.
       Pagi harinya, sebelum aku pergi. Aku memberikan secarik kertas untuk adib, yang sempat aku tulis ketika malam terakhir aku memiliki mata yang sempurna. Aku tidak menulis panjang lebar untuk adib, namun aku hanya menulis “Dik, Akhirnya aku bisa merasakan ….. Akhirnya aku bisa merasakan sepertimu, selalu dipuji, dipandang baik dan sempurna oleh seluruh orang. Akhirnya aku bisa merasakan sepertimu, walau hanya sekedar kedua bola mataku”
Sumber :http://asrinuriyah.blogspot.com/2012/12/analisis-unsur-intrinsik-pada-cerpen.html
Unsur Intrinsik
1. Tema : Mama yang telah melahirkan aku lebih mencitai Adib
2. Judul : Akhirnya aku bisa merasakan
3. Alur : Campuran
4. Latar/Setting :
    * Latar Tempat :
 di dalam rumah, halaman depan rumah, dan di rumah sakit
    * Latar Waktu : pagi, siang, dan sore
5. Penokohan : *Adit : baik, pengertian, sabar
                         *Adib : baik, pintar, selalu memberi semangat kepada kakanya
                         *Ibu : jahat
                         *Ayah : jahat tapi suatu saat baik
6. Gaya Bahasa : menggunakan kata sehari-hari yang mudah dipahami sehingga pembaca dapat menghayati                                  dan memahami
7. Sudut Pandang : orang pertama(aku)
8. Pesan atau Amanat : sebagai orang tua seharusnya tidak boleh memperlakukan seorang anak dengan cara
                                       tidak adil, sebagai orang tua harus menerima kelebihan dan kekurangan dari seorang
                                       anak, dan sesama anggota keluarga harus saling menghormati dan tolong menolong

Unsur Ekstrinsik
1. Moral : 
Mama yang telah melahirkanku pun lebih mencintai adib, ayah yang selalu memberi nafkah pada
            
 keluarga kami pun memberi oleh-oleh yang lebih istimewa kepada adib. Ini merupakan
             d
eskriminasi yang berlebihan menurutku. Ya sudahlah, biar tak kepanjangan pikirku, aku positif saja                      dengan kehidupanku.
2. Sosial : Tetangga yang bisanya tentram dengan urusan mereka, kala ini merasa terundang untuk selalu
                 membicarakan dan membandingkan aku dengan aib.
3. Ekonomi : 
Orang tuaku siap mengganti berapa pun biaya demi keselamatan adib, bahkan dengan mengganti                      bola mata yang baru. Aku mengira bahwa orang tuaku akan menulis iklan dalam media masa bahwa                   mereka butuh donor mata dengan nilai rupiah yang cukup tinggi. Ternyata hal itu hanya mimpi belaka,                   keputusan orang tua yang dicurahkan terhadap dokter adalah mengambil bola mataku untuk adib,                          sang juara keluarga.
4. Agama : 
 Tuhan sangat sayang padaku, dan aku pun yakin atas hal tersebut. Aku berpikir, jika aku tak punya                   mata lagi apakah aku bisa menangis? Biarlah, aku habiskan air mataku untuk adib, kebanggaan                     semua orang. Mungkin dengan cara ini aku bisa mendapat pujian dari semua orang yang kagum                 atas adib.
WINDA WATI
   XII IPS 1



Nama : Dwia Ananda P.
Kelas : XII IPS 1
 Cerpen
"Memori Masa Lalu"
Aku berjalan gontai dengan tatapan kosong menyusuri sebuah pusat perbelanjaan dan tiba-tiba dari arah yang tidak kusangka-sangka, “bruggghhhhhhh” seorang laki-laki menabrakku dari arah arah yang berlawanan, sepertinya ia terburu-buru, dia membuat buku-buku yang aku pegang jatuh dan berserak, aku mengangkat kepalaku dan menatapnya “kalau jalan liat-liat dong, jangan asal tabrak aja”, pada saat yang bersamaan juga dia mengangkat kepalanya sambil berkata “maaf, maaf, aku terburu-buru”. Akhirnya kami saling pandang, dan beberapa saat lamanya membisu layaknya patung, kemudian aku tersadar, tadinya aku berusaha mengingat masa lalu, sepertinya aku pernah mengenal dekat sosoknya, wajahnya tak asing lagi di mataku, suaranya tak asing lagi di telingaku.
“diaz?”
“mutia?”
“Kamu beneran diaz?” tanyaku.
“ya, aku diaz teman SMPmu”
Sudah 11 tahun kami tidak pernah berjumpa, dan akhirnya dipertemukan di tempat ini dalam keadaan yang menjengkelkan, meski sekarang dia sudah dewasa, umurnya sekitar 26 tahun, aku masih dapat mengenalinya, wajahnya tidak berbeda jauh dari yang dulu, kuakui dia semakin tampan, walaupun tetap menyebalkan.
Aku mengambil buku-bukuku yang dibantu olehnya, dia terus menatapku sejak tadi dan matanya tak juga hengkang dari wajahku, kemudian dia menarik tanganku. Kami pergi ke taman kota, dan duduk menikmati sore disana, sambil bertukar cerita.
“Selepas SMP, kamu SMA dimana yas?” tanyaku.
“di pekan baru, aku tinggal sama nenek, kamu dimana muti?”
“aku SMA di medan yas”
“oh, ya makin cantik aja ya, tapi makin cerewet juga, hahaha”
“gak lucu, kamu masih menjengkelkan, dan setiap bersamamu rasanya aku ingin marah saja”
“tuh kan, marah lagi, cerewet lagi, dari dulu gak berubah-berubah”
aku memukulnya, seperti aku memukulnya dulu “aw, sakit mutiku yang cantik” ucapnya sambil manja sambil mentoel pipiku. Membuat mata kami saling menatap satu sama lain, hingga membuatku bungkam seluruh bahasa dunia, begitu dekat jarak kami, hingga dapat kurasakan desahan napasnya, aku cepat berbalik arah, tapi dia menggenggam tanganku, kurasakan getaran-getaran yang menjalar dari jemari-jemarinya, beberapa saat lamanya kami diam, dan menikmati perasaan yang mungkin enggak pernah singgah, karena SMP dulu bisa dibilang kami musuhan, sering bertengkar. Aku tersadar kemudian menarik tanganku cepat-cepat “apa sih pegang-pegang!” ucapku sinis. “yee GR, tadi di tanganmu ada semut, mau aku ambil, tapi kamu tuh kesempatan megang tanganku” jawab diaz. “ih, udah salah, mutar balikkan fakta lagi, dari dulu gak pernah berubah, menyebalkan!” ucapku sambil ngeloyor pergi meninggalkan diaz, yang masih diam terpaku.
Aku berjalan pulang dengan hati kesal, sampai di rumah aku bergegas mandi kemudian tiduran di kamar karena aku merasa lelah, dan semenjak bertemu diaz lelahku semakin berlipat ganda. “Ah, mengapa aku kesal dengan diaz?” tanyaku dalam hati. Bukankah masa SMP itu sudah lama berlalu, lantas mengapa aku masih bertingkah seperti anak kecil, aku kembali mengingat masa-masa SMP, dulu aku sekelas dengan diaz, aku adalah sekretaris kelas dan diaz adalah ketua kelas, keadaan itu semakin membuat kami sering bertengkar, entah karena apa saja, tapi setiap aku dan diaz bertemu pertengkaran tidak pernah terelakkan, aku masih ingat masa-masa SMP dulu tak terlupakan, apalagi semua kenakalan diaz, dulu aku pernah bergumam ingin membalasnya semua kejahatannya, aku masih ingat ketika aku mau duduk di bangku ku, diaz menarik bangku ku, hingga akhirnya aku jatuh terhempas di lantai, sakit sekali rasanya, tapi diaz malah tertawa mengejekku, dia benar-benar sengaja membuatku muntab, ingin rasanya ku hajar dia waktu itu, aku mengejarnya, tapi dia berlari begitu kencang hingga tidak dapat terdahului olehku. Aku berbalik arah ke kelas dan sejak saat itu aku tidak berteman dengannya selama 3 hari, ingat bahwa islam tidak membenarkan orang yang memutuskan tali silaturahmi, aku kemudian memaafkannya, dimaafkan dia bukannya berubah, malah semakin menjadi-jadi jailnya.
Lamunanku buyar seketika, mendengar ponselku berdering. Pesan singkat dari nomor tak dikenal “sore menjelang malam cantik, sudah mandi?”. “siapa?” aku membalas pesannya. “aku adalah kamu, kamu yang hidup di hatiku” balasnya. “O” balasku sesingkat mungkin, malas meladeni orang gila, pikirku.
Selesai shalat isya aku tidur. Aku tertidur pulas hingga bangun kesiangan, aku bergegas mandi, aku bekerja di bank BTN dan juga menghandle percetakan yang aku rintis sejak 6 tahun yang lalu.
Di tempat kerja, aku teringat akan berkas-berkas pentingku yang aku letakkan di dalam buku-buku, mungkin tertinggal di rumah pikirku. Lama aku tercenung, kemudian seseorang memegam bahuku dari arah belakang, aku terkejut dan langsung berbalik arah, “diaz? sedang apa kamu disini?” tanyaku. “nih buku-buku kamu, kemaren ngeloyor aja, ninggalin bukunya di bangku, yang tadi malam SMS itu aku, aku nemuin kartu nama kamu di dalam salah satu buku”. “oh, makasih” ucapku pendek. Langsung berbalik arah mau pergi. Diaz menarik tanganku, hingga mataku membentur matanya, ada getaran di matanya, aku dapat merasakan getaran itu, karena frekuensinya begitu kentara terpancar. “aku jemput di rumahmu ya, kita makan malam” ucap diaz lirih. Dia ngeloyor pergi tanpa sempat aku menjawab. Padahal nanti malam, aku ada janji sama tunanganku, mau makan malam di rumahnya bersama ayah dan ibuku juga. Ah, tapi biarlah, salah siapa langsung pergi, hitung-hitung balas dendam, hahaha.
Langit mulai dihiasi pancaran jingga, dan malam mulai merambah bumi dengan segenap suasana magisnya, bintang bertabur di langit, bulan bersinar dengan segela kerendahan hatinya, indah, menawan, dan mempesona keadaan langit malam ini. Aku memakai dress biru yang sepadan dengan warna kerudungku. Aku menunggu azzam tunanganku sambil menonton TV, tak berapa lama dia datang, kami pun langsung pergi ke rumahnya.
Ibu azzam sibuk ingin mempercepat pernikahan kami, katanya ia takut aku diambil orang, ada-ada saja ibu azzam. Makan malam yang menyenangkan, dengan calon suamiku, kedua orangtuaku, dan kedua calon mertuaku, aku begitu menikmati malam ini, malam yang romantis dan penuh dengan nuansa kekeluargaan, ternyata suasana malam ini seindah bintang-bintang di langit. Makan malam diakhiri dengan perbincangan antara orangtuaku dan orangtua azzam. Kemudian kami pulang diantar azzam. “I love you sayang” ucap azzam di penghujung pertemuan kami malam itu, “I love you too sayang” ucapku.
Di kamar bayang-bayang diaz kembali merayapi pikiranku, dan menari-nari di mataku. Aku teringat, bukankah tadi pagi diaz bilang mau mengajakku makan malam, tapi dia tidak ada datang ke rumahku, ah, biarlah pikirku, bukankah memang lebih baik jika dia tidak jadi datang. Aku kembali memutar haluan pikiranku dari diaz menjadi azzam. Sebentar lagi aku menikah dengan azzam, seorang dosen di fakultas MIPA USU. Aku tidak boleh memikirkan si tengik diaz yang jail, apalagi merasakan getaran yang sama kalau didekat diaz, tidak, itu tidak boleh, aku mencintai azzam, ya azzam.
Pagi yang indah, ini hari sabtu, aku tidak masuk kerja hari sabtu. Hari ini aku tujuanku toko buku. Lagi-lagi di toko buku aku bertemu diaz, rasanya allah senang sekali melehat kami bertengkar, hingga aku harus selalu dipertemukan dengan diaz. “tadi malam kenapa gak jadi datang?, memang sengaja bohong kan?, jail kali!, untung aku memang gak percaya dari awal!” ucapku pada diaz. “bukankah seseorang telah menjemputmu tadi malam?” jawab diaz santai dan lirih. “sok tau kamu yas” ucapku. “ya taulah, aku tadi malam ke rumahmu, karena sudah ada orang lain, aku pun pulang, menyenangkan ya tadi malam” jawab diaz. “hmmm, ya begitulah”. Selesai aku membeli bukuku, aku diaz makan siang bareng di sebuah tempat makan yang cukup romantis, tempat pilihan diaz, aku juga heran kenapa aku diajak kesini. Bukan mau mengkhianati azzam dengan makan bareng diaz, lagian diaz cuma teman lamaku.
Setelah pesanan datang, kami pun memulai acara makan kami, aku mulai menyuapkan makanan ke mulutku hingga beberapa suap, tetapi kemudian aku tersadar diaz menatapku tajam, tak berkedip, “diaz? Kamu kenapa?”, diaz tetap diam dan tak menggoyahkan pandangannya sedikit pun, “diaz?” ucapku sedikit lebih keras. “eh, oh, eh, kenapa muti?” jawab diaz. “kamu itu yang kenapa, bengong melompong gak jelas” ucapku.
“aku, aku, aku sebenarnya” ucap diaz.
“sebenarnya apa?” jawabku bertanya.
Diaz menggenggam erat jemariku, seolah tak ingin melepas genggamannya, dia mulai bercerita “kamu ingat gak? aku dulu jahat kali sama kamu, aku pernah basahin seragam kamu pake es jeruk ku, aku sering dengan sengaja nabrak kamu, hingga kamu jatuh, aku sering mengejekmu anak manja, aku pernah menguncimu di kelas ketika semua orang sudah pulang, aku pernah menarik bangku mu sewaktu kamu mau duduk, hingga kamu terjatuh, aku sering melemparmu pakai kertas hingga di bawah mejamu banyak sampah, dan kau dimarah guru. Kamu ingat itu kan? Mungkin kamu dendam atau bahkan sangat membenciku, aku sadar aku memang pantas untuk kamu benci. Tapi ingatkah kamu, di tasmu, pernah ada banyak permen say, yang semuanya ada tulisan I LOVE YOU, kamu ingat muti? Itu aku yang memasukkan ke tas mu. Kamu ingat ada begitu banyak puisi yang setiap pagi kamu temui di atas meja mu? Itu dari aku muti. Kamu ingat ketika pulang les sore, ayahmu tidak datang menjemput mu, lalu aku yang mengantarmu pulang, kamu ingat muti? Itu semua karena aku tidak pernah pulang sebelum kamu dijemput ayahmu, aku sangat mencintaimu muti, dan kalaupun aku jail dan nakal itu hanya karena aku ingin merebut perhatianmu muti, maafkan aku muti? Aku memang terlalu egois dan gengsi hingga perasaan ini aku pendam begitu lama, sejak tamat SMP aku selalu mencarimu muti, aku menyesal karena tak sempat mengungkapkan perasaanku padamu, aku tak lagi tahu kabarmu, telah banyak aku berkelana ke lain hati muti, tapi tak pernah kurasakan hangatnya cinta sebagaiman cintamu yang tak pernah hengkang dari setiap penjuru hatiku, aku mencintaimu sejak kita dipertemukan pertama kali sewaktu pendaftaran, aku tak bisa berpaling ke hati manapun muti”
Mendengar perkataan diaz jantungku bergetar hebat, getarannya begitu kuat hingga mungkin menjalar sampai ke tangan diaz, diaz belum melepaskan genggamannya, jantungku semakin gak karuan, ingin rasanya aku berlari dari tempat ini, aku menundukkan kepala, tak berani menatap mata diaz. Diaz melanjutkan ceritanya, “muti, andai kamu tahu, aku sudah malang melintang kesana kemari mencarimu, aku mencintaimu muti, kali pertama kita bertemu, sebenarnya aku diberitahu firman teman sekelas kita bahwa ia melihatmu, makanya aku berlari dan begitu terburu-buru, karena aku benar-benar takut muti, aku takut tak lagi bisa melihatmu, tak lagi bisa menatap matamu yang indah”. Cerita diaz semakin membuatku menundukkan kepala, bodohnya aku tidak mau pergi dari tempat itu, padahal aku tunangan azzam, berdosanya aku ini. Aku cepat-cepat menarik tanganku dari genggaman tangan diaz, tapi ternyata diaz tak semudah itu melepaskan genggamannya. “maukah kamu menikah denganku muti? Aku sangat mencintaimu muti, maafkan aku atas semua, berilah aku kesempatan agar aku tidak menyesal untuk kedua kalinya. Kali ini bibirku mulai bergerak lirih “aku sudah bertunangan yas, maafkan aku”.
“Aku tahu muti, aku tahu kamu mencintaiku” ucap diaz sendu.
“tidak yas, aku sudah bertunangan, lupakan aku, masih banyak wanita di luar sana yang bisa kaucintai” jawabku.
“muti, aku tahu matamu, kamu mencintaiku, jujur muti”.
“sudahlah yas, lupakan aku”
Aku menarik tanganku, ketika belum semua jemariku lepas dari genggaman diaz, azzam datang ke tempat ini dengan rekannya, dia melihatku dan langsung menghampiriku, aku takut, aku benar-benar taku azzam marah dan memutuskan ikatan kami, walaupun sejak pertemuan dengan diaz beberapa hari yang lalu cintaku terbagi sedikit kepada diaz, tapi itu tidaklah banyak, hanya sedikit, sedikit sekali, hatiku tetaplah milik azzam.
“kamu siapa?” Tanya azzam dengan nada berat kepada diaz. “aku teman lama mutia” jawab diaz. “kalau hanya teman, kenapa kamu pegang-pegang tangan mutia?, aku melihat kalian sejak tadi, hingga hatiku terbakar” ucap azzam. Jantungku semakin tidak karuan, aku dapat merasakan getaran badanku, aku merasakan napasku yang berat, aku menundukkan kepala dalam-dalam, tidak berani menatap azzam. “dan kamu muti, kenapa kamu berbohong padaku? Bukankah tadi kamu bilang mau ke toko buku, dan tidak mau aku temani, kamu bilang tidak mau merepotkanku, tapi nyatanya apa muti? Kamu malah berdua-duaan, makan siang, pegangan tangan dengan laki-laki ini, kamu takut aku ganggu muti? Tega sekali kamu padaku!” azzam berkata lirih. Aku tau, wajah azzam begitu kentara memancarkan sinar kekecewaan dan kemarahan.
“maafkan aku zam, memang tadi aku membeli buku, dan tidak sengaja bertemu dengan temanku ini, maafkan aku zam, aku tidak membohongimu, dan aku juga tidak tahu kalau semua jadi seperti ini” ucapku lirih.
“akulah yang salah zam, aku mencintai muti sejak kami masih SMP, dan baru tadi aku mengungkapkannya, jangan sia-siakan muti zam, dia perempuan yang baik, yang dapat menjaga hatinya, tadi dia sudah berusaha melepaskan tangannya dari genggamanku, tapi akulah yang tidak melepaskannya, aku meyakinkannya dan sedikit memaksanya untuk mau menikah dengaku, tapi ia tidak mau, dia bilang dia sudah bertunangan, dia menyuruhku melupakannya, kalau mau marah, marahlah padaku zam, jang marah pada mutia, dia tidak bersalah” ucap diaz.
“ya sudahlah!, jangan kamu ganggu muti lagi, dan jangan kamu temui muti lagi” jawab azzam.
“iya, tapi izinkan aku tetap berteman dengan muti, hanya teman, aku tidak akan merebutnya darimu” ucap diaz.
“ya”. Jawab azzam cuek seperti tidak ikhlas, azzam lalu manarik tanganku, kami pun meninggalkan tempat itu dengan segala perasaan gundah gulana, kesal dan marah.
“maafkan aku zam” ucapku
“aku sudah memaafkanmu, lupakan semua” jawab azzam.
Tiga hari setelah kejadian di tempat makan itu, azzam menikah denganku, diaz menghadiri resepsi pernikahan kami. Diaz benar-benar menyesal untuk kedua kalinya, itu semua karena keegoisannya sendiri, semua terlambat, tetapi ia senang karena aku senang, sekarang agaknya diaz sudah jadi lelaki dewasa yang berjiwa besar.

Unsur Intrinsik  :
Tema      : Mengenang masa lalu
Alur      : Maju Mundur
Penokohan  :  1. Diaz   : Baik tetapi juga menyebalkan                     
 2. Mutia : Baik, bekerja keras,                       
3. Azzam: Baik dan romantis
Gaya Bahasa : Mudah dipahami
Latar   : -Taman Kota, Rumah Mutia, Toko Buku, Restaurant.                     
             -Senang, tegang, resah, panik.
Sudut pandang : Akuan, orang pertama pelaku utama
Amanat          : Berbicaralah sebelum terlambat
Unsur Ekstrinsik :
Agama   :  ingat bahwa islam tidak membenarkan orang yang memutuskan tali silaturahmi, Mutia kemudian memaafkannya, dimaafkan Diaz bukannya berubah, malah semakin menjadi-jadi jailnya.
Ekonomi : Mutia sangat bekerja keras sehingga dia bisa menjadi wanita yang sukses

Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Cerpen "Mata Yang Berlabuh"

Mata Yang Berlabuh
dibuat oleh Muhamad Adji

Matahari kelabu. Udara bisu.Tak ada suara lengkingan renyai yang menyeruak seperti biasanya setiap kali ia jejakkan kaki di daratan yang berpasir. Tidak pula suara perempuan yang lantang, yang dengan lari-lari kecilnya, menghalau anak yang berlarian di depannya itu dari air laut yang merambati kaki mereka. semuanya telah menghilang.

Tapi masih ada yang belum ditemukan. Karena itu, Abdullah, laki-laki yang berjalan terseok itu, terus mencari-cari. Tangannya telah lelah, hampir tak sisakan tenaga. Tapi gelombang di dadanya lebih besar daripada kehendak tubuhnya. Ia paksakan kakinya melangkah meski nyeri mulai menusuk pada memar kakinya.
Abdullah hentikan langkah. Layangkan matanya pada langit. Ia tidak tahu lagi apakah ini siang atau malam. Waktu telah berhenti sejak peristiwa itu. Tapi ia butuh waktu untuk mengais sisa tenaganya. Lalu apa yang masih menggerakkannya? Tubuh? Tidak. Tubuh itu sudah tidak berfungsi lagi. Namun, kalau pun kaki itu harus dicabut dari tungkainya, Abdullah akan terus berjalan. Semuanya memang telah sirna. Tapi masih ada yang tertinggal. Karena itu, ia masih mencari. Sepanjang beberapa depa, Abdullah kembali menghentikan langkah. Kakinya dilanda nyeri. Seribu semut merah seperti menggigiti urat kakinya. Abdullah Memijit-mijitnya dengan perlahan. Hanya istirahat sejenak. Sebab sesudahnya, dengan rasa sakit yang masih menyisa, Abdullah berjalan kembali.


Mungkin rasa sakit itu sudah hilang. Bersama tumpahan air mata yang membanjir berhari-hari sebelumnya hingga tak menyisa. Meskipun ia minum seluruh air laut di Pantai Ulee Lheu, itu takkan bisa menggantinya. Abdullah pun telah menghapus air mata itu dalam catatan di darahnya. Seperti beku telah membungkus hatinya. Hanya dengan mata ia berjalan. Mata yang gelap.Berhari-hari yang lalu, Abdullah telah jelajahi seluruh tempat. Puing-puing yang luruh. Mayat-mayat yang serak. Ada tetangganya, teman melaut, teman anaknya yang sering menunggui kapal ikan datang, penjaga surau kampung. Namun ia tak ada di sana. Karena itu, Abdullah terus mencari.''Sudahlah, Abdullah. Istirahatlah sejenak. Badanmu sudah letih.''

Ia tidak begitu awas, apakah itu suara istrinya atau tetangganya.
''Nanti saja.
Aku selesaikan dulu pekerjaan ini. Nanti aku kembali.''
Tidak. Ia telah berbohong pada istrinya. Kembali? Aku belum menemukan yang kucari, maka aku tidak akan kembali. Lagipula kemana aku akan kembali? Abdullah menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak kan ada langkah surut, suara hati Abdullah kuatkan langkahnya.Istrinya memang memahami sikapnya. Batu yang keras itu tak akan mudah dilebur dalam satu pukulan kampak.''Anakmu sudah menanti. Mengapa engkau masih tak tahu juga, Abdullah. Bukankah engkau tahu mereka sudah menantimu untuk makan siang.''Sedetik tubuh Abdullah mengeras. Matanya tajam menentang ke atas. Ada yang dicarinya di sana. Tapi tak ada apa-apa. Langit tak biru.


Merah memantul dari lensa matanya. Hanya angin yang berkesiur. Selebihnya tak ada.
''Nantilah. Nanti saja. Aku belum ingin pulang.''
''Apa yang kau cari, wahai Abdullah? Kau tak turuti anjuran istrimu.
Mengapa engkau masih bengal juga, Abdullah!
''Itu suara ayahnya. Suaranya keras, seperti dirinya. Abdullah tak peduli.
''Kemana engkau akan pergi, anakku?'' perempuan yang matanya kelabu memanggilnya serupa angin.''Tak usah hiraukan aku, Bu.''Abdullah terus berjalan. Kakinya yang menyusut dari waktu ke waktu dan makin kehilangan daya tak mampu kalahkan kehendaknya.

Mayat-mayat bergelimpangan seperti rongsokan. Bau sengat yang mengundang kerumunan lalat menggunduk di setiap setiap tempat. Tapi Abdullah tak hiraukan itu. Matanya yang berpijar merah melata, susuri setiap mayat yang bergelimpangann itu. Tangannya mengorek satu demi satu mayat yang terhampar di kakinya.
''Ia tak ada di sana !''
Ibunya berseru. Rambut peraknya berkeriyap dihembus angin. Abdullah tidak ingin mendengar. Kakinya terus ia seret.
''Pulanglah, Abdullah. Maka kau akan menemukannya,'' suara ibunya memanggil lagi. Langkahnya makin melata. Seluruh sendi-sendi kakinya bergetar, merambat ke engsel tubuhnya. Tapi Abdullah tak mau mengalah pada keadaan tubuhnya. Ia seret kakinya dengan sisa tenaga. Jalan ibarat pasir yang menusuk luka di tubuhnya. Serakan mayat itu masih bergelimpangan di kanan-kiri. Halangi langkah tubuhnya yang makin ringkih. Mata-mata mereka membuka. Seperti hendak menyampaikan pesan pada Abdullah.
''Sudahlah, Abdullah. Pulanglah ke rumah.''
Abdullah singkirkan suara-suara itu dari udara. Langit menjadi-jadi bekunya. Hanya ada suaranya yang mengapai-gapai udara. Ia hampir kehilangan keseimbangan ketika kaki kanannya menabrak tubuh yang membujur. Tubuhnya mencoba menahan lengkung badannya yang hampir jatuh ke tanah. Tapi bumi seperti ingin memeluknya dan merengkuhnya. Berat badannya condong ke tanah.
Bunyi berdebam memecah sunyi ketika tubuhnya yang labil menimpa mayat itu. Mata yang putih. Seperti daun jendela yang membuka lebar. Menyeret Abdullah masuk dan terhisap ke dalamnya. Mata yang berkata. Mengapa kau tak yakin ini semua, Abdullah. Kemana kau campakkan imanmu itu. Pulanglah. Kembalilah ke rumahmu.

Abdullah menggeram.
Diamlah. Semuanya sudah kosong. Hambur oleh angin yang membawa pergi. Hanya satu yang masih tersisa. Aku sedang mencarinya dan ingin membuktikan keberadaan-Nya. Jadi singkirkan kakimu, hai mayat yang tak punya rasa. Tak ada yang dapat menghalangi langkahku.
Dengan menahan sakit pada tangan kirinya yang menimpa aspal kasar, tangan Abdullah menjangkau tongkat kayu dengan tangan kanannya. Ketika tumpuannya telah kukuh, Abdullah menaikkan tubuhnya ke atas. Begitu susah payah ia menegakkan tubuh. Tapi siapakah yang bisa mengalahkan kekerasan hatinya?
Setelah tubuhnya tegak seimbang, Abdullah menendang mayat itu. Ia injak dengan kaki kanannya yang masih menyimpan tenaga. Lalu mendengus.


Jalan yang ditempuh Abdullah makin menyempit dalam pandangan matanya yang kelabu. Tapi ia terus berjalan. Beberapa depa di depannya, Abdullah tersentak. Masjid Baiturrahman masih berdiri tegak. Seperti mercusuar tinggi di tengah lautan puing-puing yang menyerak. Warnanya yang putih pantulkan kilau matahari ke seluruh padang yang luas. Padang mahsyar.
Abdullah semakin kebut langkahnya. Seperti roda, kakinya yang pincang bergerak cepat. Ia berlari. Seperti kuda sembrani yang melintas di permukaan laut yang tenang.
''Mau kemana engkau, Abdullah?''
Abdullah tak menjawab. Ia terus seret langkahnya. Menekan gemuruh yang berputar dahsyat di kepalanya. Adakah Engkau di sana? Dadanya bergetar hebat. Sudah habis air matanya sejak berhari-hari lalu. Tapi apa yang ada di dadanya ini? Begitu hebat guncangannya, begitu keras gemuruhnya. Ketika tak ada lagi yang bisa menahannya, Abdullah meraung hebat. Seluruh persendiannya patah dan lunglai. Ia terjerambab dengan tubuh kehilangan daya. Dan terduduk di teras masjid dengan mata yang buta. Dengan tubuh yang tergugu. Adakah badai yang lebih besar dari ini, Ya Allah? Abdullah menangis. Hatinya basah.
''Apakah engkau menemukannya, Abdullah?'' Suara yang jauh meruapi telinganya.
Dagu Abdullah mengangguk makin hebat. Air mata menggenang di wajahnya. Membasah di janggutnya yang tipis. Seperti kilau minyak zaitun. Tak sanggup gelombang suara keluar dari kerongkongannya yang tercekat. Hanya lirih yang mengisi udara.
''Bagaimana mungkin, bukankah matamu telah buta, Abdullah?'' Suara yang lembut menghunjam dadanya.
Air mata Abdullah makin menderas. Tubuhnya lumpuh. Tak kuat menahan guncangan yang kuat dalam dadanya. Matanya memang telah buta. Sejak gelombang pasang itu meraup seluruh hidupnya. Ia tak melihat apa-apa lagi. Tapi air mata yang membasuh hatinya membukakan semua pintu yang terkatup.
Ia seakan melihat istrinya, ibunya, bapaknya, dan Ibrahim anaknya melambaikan tangan ke arahnya. Lalu di sebelah-sebelahnya, tetangga rumah, teman sesama nelayan. Senyum mereka merekah. Ikhlas. Seperti kuntum-kuntum embun yang membeningkan pagi. Lalu perlahan semuanya mengabur serupa kabut yang membias di fajar subuh.
Suara adzan menyayat telinganya. Abdullah merasa tubuhnya melayang dalam udara. Menyatu dalam ruang hampa. Ketika tersadar, ia melihat tubuhnya bersimpuh di depan mihrab masjid. Begitu kecil. Dan tanpa daya.***

 

* Unsur Intrinsik

1. Tema : Bencana yang merenggut penglihatan seseorang
2. Judul : Mata Yang Berlabuh
3. Alur : Campuran
             > Abdullah terus berjalan sambil mengingat kejadian yang menimpanya beberapa hari yang lalu
4. Penokohan : - Abdullah: keras kepala, egois, tidak pantang menyerah
                        - Istri Abdullah: penyabar
                        - Ibu Abdullah: penyayang, penyabar
                        - Ayah Abdullah: keras, perhatian
5. Latar :
    a. Tempat : Pesisir pantai
    b. Waktu : Siang
    c. Suasana : sedih, mencemaskan
6. Sudut Pandang : Orang ketiga
7. Gaya Bahasa : Menarik
8. Amanat : Terima dan ikhlaslah pada apa yang sudah terjadi

* Unsur Ekstrinsik

1. Agama : Abdullah bertanya kepada Allah
2. Sosial : Abdullah berbicara dengan istri dan kedua orangtuanya

REIN ALDHISA // XII IPS 1
Takut Sama Jarum Suntik
Lagi idung meler, batuk di sertai tenggorokan panas. Ngedrop deh *udah kayak batrai hp-aja*, tapi setelah minum obat alhamdulilah, wassyukrulillah, sudah agak reda dikit sih. Tinggal melernya aja yang masih setia menempel di idung. Kayaknya efek mengkonsumi makanan yang gak sehat gitu. Ini kayaknya gara-gara kemarin aku makan-makanan gorengan sih, bukan maksud hati nyalahin si Pak penjual gorengan, tapi gorengan yang di bikin ibuk,  anehnya satu keluarga yang kena cuman aku aja..!!! alhamdulilah, yang penting ayah, ibuk, adik, nenek semua pada sehat.
Meskipun lagi bengek. Bengek hidung meler maksudnya, aku jarang banget pergi ke dokter kalau emang sakitnya levelnya kelas teri. Sakit kok disepelekan, jangan di tiru ya. Paling-paling beli obat di apotik aja tu penyait dah kalang kabut. Bukanya di kampung halamanku tidak ada dokter,? Tapi radak sedit traumatik dengan yang namanya jarum suntik.
Ceritaya begini. Tetanggaku, Pak mantri yang kebetulan tiap hari  bukak pengobatan medis, dan pasienya bejibun ngantri di setiap pagi. Maka dari itu, kalau pas ada yang sakit entah itu adik, kakak, mapuan anggota keluarga yang lain langsung di rujuk ke Pak Manti.  Kala itu, aku sakit untuk ke sekian kali dan kesekian kali juga aku di rujuk ke Pak mantri itu, sehabis di periksa si Pak Mantri bilang,’’ tengkurap ya, di suntik,” !! dengan rela aku mengorbankan kehormatan pantatku untuk di cium sama jarum suntiknya, eh setelah selesai di suntik dan di kasih obat. Yang ada pantat ku malah bergejolak, di buat duduk gitu slalu berontak. ini efek jarum suntik deh, sampek sekitar tiga hari baru bisa duduk normal. Gara-gara itu deh, jadi agak trauma dengan yang namanya jarum suntik.
Terpaksa deh, kalau pas lagi makan, atau pas lagi apa gitu jadinya jongkok, tu kan jadi mirip gaya aku pas lagu pup. Gak sopan…!!!!
Sumber: http://boediinstitute.wordpress.com/2012/09/02/takut-sama-jarum-suntik/


UNSUR INTRINSIK
A. JUDUL: takut sama jarum suntik
B. TEMA: seorang anak muda yang sedang sakit flu.
C. ALUR: mundur.
D. SUDUT PANDANG: orang pertama pelaku utama
E. GAYA BAHASA: bahasa gaul, menarik, dan mudah dimengerti.
F. LATAR
         1.      Tempat:   Rumah pak Mantri
                                     Rumah si “aku”
                                     Kantin menjual gorengan
         2.      Waktu:     pagi hingga malam hari
         3.      Suasana;  gembira
G. AMANAT: jika sakit segeralah ke dokter, walaupun penyakit ringan.

UNSUR EKSTRINSIK
1. NILAI MORAL:  si “aku” trauma dengan jarum suntik.
2. NILAI SOSIAL:  setiap pagi, rumah Pak Mantri sudah dikerumuni banyak pasien.



unsur ensterinstik instrinstik cerpen Indonesia (Dhika Bimaseta)

ROBOHNYA SURAU KAMI

            

             Di suatu tempat ada sebuah surau tua yang nyaris ambruk. Hanya karena seseorang yang datang ke sana dengan keikhlasan hatinya dan izin dari masyarakat setempat, surau itu hingga kini masih tegak berdiri. Orang itulah yang merawat dan menjaganya. Kelak orang ini disebut sebagai Garin.
Meskipun orang ini dapat hidup karena sedekah orang lain, tetapi ada yang paling pokok yang membuatnya bisa bertahan, yaitu dia masih mau bekerja sebagai pengasah pisau. Dari pekerjaannya inilah dia dapat mengais rejeki, apakah itu berupa uang, makanan, kue-kue atau rokok.
Kehidupan orang ini hanya mengasah pisau, menerima imbalan, membersihkan dan merawat surau, beribadah di surau dan bekerja hanya untuk keperluannya sendiri. Dia tidak ngotot bekerja karena dia hidup sendiri. Hasil kerjanya tidak untuk orang lain, apalagi untuk anak dan istrinya yang tidak pernah terpikirkan.
              Suatu ketika datanglah Ajo Sidi untuk berbincang-bincang dengan penjaga surau itu. Lalu, keduanya terlibat perbincangan. Akan tetapi, sepulangnya Ajo Sidi, penjaga surau yang kerap disapa Kakek itu murung, sedih, dan kesal. Karena dia merasakan, apa yang diceritakan Ajo Sidi itu sebuah ejekan dan sindiran untuk dirinya.
              Ajo Sidi bercerita sebuah kisah tentang Haji saleh. Haji saleh adalah orang yang rajin beribadah menyembah Tuhan. Ia begitu yakin ia akan masuk ke surga. Namun Tuhan Maha Tau dan Maha Adil, Haji Saleh yang begitu rajin beribadah di masukan ke dalamma neraka. Kesalahan terbesarnya adalah ia terlalu mementingkan dirinya sendiri. Ia takut masuk neraka, karena itu ia bersembahyang. Tapi ia melupakan kehidupan kaumnya, melupakan kehidupan anak isterinya, sehingga mereka kocar-kacir selamanya. Ia terlalu egoistis. Padahal di dunia ini kita berkaum, bersaudara semuanya, tapi ia tidak memperdulikan itu sedikit pun. Crita ini yang membuat kakek tersindir dan merasa dirinya murung.
Kakek  memang tak pernah mengingat anak dan istrinya tetapi dia pun tak memikirkan hidupnya sendiri sebab dia memang tak ingin kaya atau membuat rumah. Segala kehidupannya lahir batin diserahkannya kepada Tuhannya. Dia tak berusaha mengusahakan orang lain atau membunuh seekor lalat pun. Dia senantiasa bersujud, bersyukur, memuji, dan berdoa kepada Tuhannya. Apakah semua ini yang dikerjakannya semuanya salah dan dibenci Tuhan ? Atau dia ini sama seperti Haji Saleh yang di mata manusia tampak taat tetapi dimata Tuhan dia itu lalai. Akhirnya, kelak ia dimasukkan ke dalam neraka. Penjaga surau itu begitu memikirkan hal ini dengan segala perasaannya. Akhirnya, dia tak kuat memikirkan hal itu. Kemudian dia memilih jalan pintas untuk menjemput kematiannya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau cukur.
               Kematiannya sungguh mengejutkan masyarakat di sana. Semua orang berusaha mengurus mayatnya dan menguburnya. Kecuali satu orang saja yang tidak begitu peduli atas kematiannya. Dialah Ajo Sidi, yang pada saat semua orang mengantar jenazah penjaga surau dia tetap pergi bekerja.

Unsur intrinstik :
1. Tema            :
     Seorang kepala keluarga yang tak menghidupi keluarganya.
2. Amanat        : 1) jangan cepat marah kalau diejek orang,
                            2) jangan cepat bangga berbuat baik,
                            3) jangan tergiur oleh gelar dan nama besar,
                            4) jangan menyia-nyiakan apa yang di miliki, dan
                            5) jangan egois.
3. Latar
      -Latar Tempat 
       kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya
      -Latar Waktu
            Beberapa tahun yang lalu.
4. Alur (plot)
    Alur mundur karena ceritanya mengisahkan peristiwa yang telah berlalu yaitu sebab-sebab kematian             kakek Garin.

5. Penokohan
    Tokoh penting dalam cerpen ini ,yaitu tokoh Aku, Ajo Sidi, Kakek, dan Haji Soleh

    (a) Tokoh Aku berwatak selalu ingin tahu urusan orang lain.
    (b) Ajo Sidi adalah orang yang suka bohong
    (c) Kakek adalah orang yang egois , mudah dipengaruhi dan mempercayai orang lain.
    (d) Haji Soleh yaitu orang yang telah mementingkan diri sendiri. 

6. Sudut Pandang
    Di dalam cerpen ini pengarang memposisikan dirinya dalam cerita ini sebagi tokoh utama atau akuan             sertaan sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita dan ini terasa pada bagian awal cerita.

Unsur ekterinstik :
1. Agama        : walaupun beribadah setiap hari kalo ada mau nya tidak akan masuk surga
2. Sosial          :  Garin sering di kasih makanan oleh masyarakat sekitar