Surat Dinda
Sudah lama Chaca dan Dinda berteman akrab, kemana-mana selalu bersama, di kelas
juga duduk sebangku. Mereka mulai dekat ketika naik ke kelas dua sekolah dasar.
Kala itu teman yang dekat dengan Dinda pindah sekolah karena suatu alasan.
Hingga akhirnya, Bu Guru menempatkan dua bocah itu sebangku, tepatnya duduk
di bagian depan karena Chaca memakai kacamata dan sebelah Dinda juga masih
kosong, karena terbiasa berdua keakraban pun terjalin tapi entah mengapa tiba-tiba
mereka terlihat seperti sedang bermusuhan, kini Dinda sering bersama dengan Uni,
teman sekelasnya yang sekaligus tetangga depan rumah. Peristiwa ini tentu
menimbulkan pertanyaan dari teman-teman mereka.
juga duduk sebangku. Mereka mulai dekat ketika naik ke kelas dua sekolah dasar.
Kala itu teman yang dekat dengan Dinda pindah sekolah karena suatu alasan.
Hingga akhirnya, Bu Guru menempatkan dua bocah itu sebangku, tepatnya duduk
di bagian depan karena Chaca memakai kacamata dan sebelah Dinda juga masih
kosong, karena terbiasa berdua keakraban pun terjalin tapi entah mengapa tiba-tiba
mereka terlihat seperti sedang bermusuhan, kini Dinda sering bersama dengan Uni,
teman sekelasnya yang sekaligus tetangga depan rumah. Peristiwa ini tentu
menimbulkan pertanyaan dari teman-teman mereka.
“Cha, kamu kok nggak pernah jalan sama Dinda lagi sih, sekarang malah seringan
sama Uni?” tanya Fanny penuh selidik. Kalian lagi ada masalah yah?” sambungnya
lagi
“Enggak kok, kebetulan Uni kan sekelompok sama aku untuk tugas prakarya,
jadi kita memang harus sering sama-sama buat ngebahas, iya kan Ni?” jawab
Chaca seperti terlihat sedang berbohong
“Oh, iya, iya” Uni mengiyakan
“Ah, masa sih, tapi kalau aku lihat sekarang, kalian juga jarang ngobrol dan bercanda
bareng, padahal kan sebangku, emangnya enak diem-dieman terus?” Fanny belum puas
dengan jawaban Chaca dan masih memberondonginya dengan pertanyaan yang
membuat kuping Chaca panas.
“Ih, kamu tuh tanya apa ngotot sih Fan, terserah kamu deh mau bilang apa!” Chaca
akhirnya merasa kesal dengan pertanyaan Fanny yang tiada hentinya. Ditinggalkannya
Fanny yang masih menungu jawaban Chaca.
“Idih…marah nih ye” sindir Fanny tak ada habisnya.
“Ah, Tanya Dinda aja, Chaca gak asik nih” sambung Fanny.
Dinda sedang asik membaca buku cerita tatkala suara cempreng Fanny memecah
konsentrasinya.
“Hai Din” Sapa Fanny centil
“Hai” jawab Dinda malas.
“Rajin amat sih”
“Iya nih daripada nggak ada kerjaan” jawab Dinda.
“Boleh duduk di sini nggak?”
“Boleh aja, jawab Dinda tanpa menoleh. Sebenarnya Dinda tidak terlalu suka
dengan kedatangan.
Fanny karena ia tahu pasti kerjanya hanya memanas-manasi Dinda. Tapi apa boleh
buat anak yang centil, cerewet dan suka mengadu itu sudah duduk di sampingnya ia
tak tega menyuruhnya pergi.
buat anak yang centil, cerewet dan suka mengadu itu sudah duduk di sampingnya ia
tak tega menyuruhnya pergi.
“Diem aja sih Din, Chaca kemana? biasanya kalian kemana-mana selalu berdua,
ke kantin, perpus, bahkan ke kamar mandi aja bareng hi….” Tanya si biang kerok
gak ada habis-habisnya.
“Chaca ke kantin kali”
“Kok kamu nggak ikut”
“Nggak laper”
“Eh iya, sekarang Chaca sering jalan bareng sama Uni loh, mereka kayaknya akrab
banget. Apalagi rumah mereka deketan. Uh makin akrab aja tuh, jahat banget yah
Chaca masak dengan mudahnya ngelupain kamu sih”
Muka Dinda mulai memerah ia tidak konsentrasi dengan buku yang dibacanya.
Emosinya hampir meledak namun berhasil ditahannya.
“Ya nggak apa-apa dong, orang kan pengen juga berteman sama yang lain, emang
nggak boleh?”
“Tapi memangnya kamu nggak iri dengan keakraban mereka?
“Ya enggaklah… ngapain iri”
“Emangnya kamu……..”
Teeeeeeeeeeeeeeeeeeeet. Tiba-tiba bel berbunyi sebelum Fanny sempat
menyelesaikan pertanyaannya. Dinda merasa lega karena anak bawel itu kembali
ke bangkunya dengan bersungut-sungut. Ia tidak berhasil mengulik berita dari
Dinda. Cacha kembali ke tempat duduknya. Mereka tidak saling menyapa. Entah
masalah apa yang membuat mereka tidak berkomunikasi seperti biasanya.
Sebenarnya keadaan seperti ini sangat menyiksa mereka
berdua. Mereka rindu saat-saat seperti dulu ketika berbagi suka dan duka
bersama-sama.
***
Hingga akhirnya sebuah surat ditulis Dinda untuk Chaca.
Untuk : Chaca , sahabatku
Sudah lama kita selalu bersama dalam keadaan sedih ataupun senang. Tapi kini kita
seperti tidak saling mengenal lagi.. aku sangat sedih Cha. Tapi harus kuakui bahwa
akulah penyebab semua ini. Aku tahu kamu sangat tersinggung atas perkataanku
kemarin, tidak seharusnya aku meremehkan kemampuanmu. Kamu berhak
mendapatkan nilai 10 itu. Maafkan aku yang menuduhmu mencontek tugas itu.
Aku hanya iri saja kepadamu. Harusnya aku bisa berlapang dada dan
mendukungmu. Sekali lagi aku minta maaf Cha. Aku ingin kita seperti dulu lagi.
Dinda, sahabatmu...
seperti dulu. Ia tidak ingin bermusuhan hanya karena hal sepele. Sudah waktunya aku
memaafkan kesalahan Dinda batinnya. Keesokan harinya Chaca membawakan Dinda
sebatang coklat sebagai tanda persahabatannya kembali.
Sumber : http://kumceranak.blogspot.com/
Unsur Intrinsik
1. Tema : Dua anak yang bersahabat.
2. Alur : (Maju)
Suatu hari ada sepasang sahabat yang bernama Dinda dan Chaca. Mereka berdua dekat karena mereka berdua duduk sebangku di kelas. Tiba-tiba ada masalah yang mereka alami. Mereka berdua seakan tidak kenal satu sama lain. Datang lah seseorang yang bernama Fanny yang selalu memanas-manasi Dinda. Hingga akhirnya, Dinda pun menulis surat permintaan maaf kepada Chaca karena telah meremehkan kemampuan Chaha pun terharu membaca surat dari Dinda dan Chaca memaafkan Dinda lalu membawakan sebatang coklat untuk Dinda.
3. Penokohan : Dinda --> Baik, asal ngomong.
Chaca --> Baik, pemaaf, sabar.
Fanny --> Centil, cerewet, suka mengadu domba.
Uni --> Baik.
4. Sudut pandang : Diaan.
5. Gaya bahasa : Menarik dan mudah dimengerti.
6. Latar setting : Suasana --> Mengharukan
Tempat --> Sekolah
Waktu --> Pagi hari
7. Amanat : Jagalah omonganm agar orang lain tidak tersinggung.
Unsur Ekstrinsik
1. Moral : Dinda yang meremehkan kemampuan Chaca.
2. Budaya : Dinda meminta maaf kepada Chaca karena perkataannya.
Windy Inta Seldianda / XII IPS 1
0 komentar:
Posting Komentar